Friday, July 9, 2010

Partnerku Itu Telah Pulang ke Pemiliknya

Apa yang terjadi tanggal 7 November 2007 mungkin tidak akan saya lupakan seumur hidup. Bukan karena hari itu hari paling bahagia, tetapi justru sebaliknya. Hari itulah hari yang mungkin mengubah banyak hal dalam hidup saya. Seorang Bapak yang bahkan belum sempat melihat kampus anaknya ini telah lebih dulu dipanggil oleh pemiliknya. Yang terasa sangat menyedihkan, saya mendapat kabar kepulangannya pada saat saya sedang mengikuti perkuliahan.

Saya ingat betul saat itu saya sedang mengikuti sebuah mata kuliah di kampus. Siang itu saya tak ada firasat apapun. Namun ketika tiba2 mendapat panggilan dari kakak sepupu saya, tiba2 saja pikiran saya langsung tertuju pada Bapak saya yang memang sedang diuji dg sakit gagal ginjal. Dan entah setelah mengangkat telpon itu saya tidak begitu ingat apa yang terjadi. Ketika sadar saya sudah berada di kontrakan tempat saya tinggal dg beberapa teman disekeliling. Seingat saya juga ada kakak sepupu saya yg lainnya, si pemilik kontrakan yang kemudian mengantar saya pulang kerumah.

Saya tidak tau harus berbuat apa. Rasanya seperti mimpi, sama seperti ketika setahun sebelumnya adik saya yang masih kelas 3 SMP meninggal karena kecelakaan. Meskipun bapak sudah beberapa bulan sakit dan saya cukup tau seberapa parah sakitnya, namun rasa belum ikhlas masih saja muncul. Maklum saja, beliau adalah Bapak sekaligus partner saya dalam banyak hal. Dibanding ibu,sayalah yang paling sering diajak kemana-mana. Jujur, waktu itu saya merasa belum siap untuk ditinggal Bapak. Bahkan sampai sekarang kadang saya masih merasa seperti itu.

Dalam perjalanan pulang ada rasa penyeesalan dalam diri ketika pada akhirnya saya memilih untuk kuliah diluar kota ketimbang berada di dekat bapak saya yg sedang sakit. Kenapa dulu saya tidak kuliah di kampus yang dekat saja? Itulah yang selalu saya pertanyakan. waktu itu kebetulan jalanan sedang macet-macetnya. Terdengar suara panggilan di hp dari pakdhe. Beliau mengatakan bahwa jenazah bapak sudah disholatkan dan siap untuk dimakamkan. Karena waktu itu sudah hampir malam saya bilang ke pakdhe supaya dimakamkan dulu saja dan tidak usah menunggu saya. Agak menyesal juga ketika pada akhirnya saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk yang terakhir kalinya. Tapi saya yakin, doa sayalah yang terpenting.

Betul saja, sesampai di rumah Jenazah Bapak sudah tidak ada dan saya hanya bisa menangis. Meskipun dalam Islam diajarkan untuk mengikhlaskan keluarga yang sudah meninggal, tetap saja itu terasa sangat berat.

Ada banyak kenangan bersama Bapak yang akan selalu saya ingat. Selama kuliah alhamdulillah saya masih sering pulang dan masih sempat menunggu bapak yang harus rutin cuci darah 2 kali seminggu. Dalam kondisi sakit beliau terlihat sangat berbeda dari biasanya. Bapak yang sehari-hari begitu aktif tiba2 menjadi sosok yang lemah.

Ah, mungkin akan sangat panjang jika menceritakan tentang bagaimana beliau selam hidupnya. Yang jelas saya akan selalu mendoakan supaya Bapak dan adik saya mendapat tempat terbaik disisi Allah SWT.